Kenyataannya, banyak di antara kita asyik menenggelamkan diri dalam
jejaring sosial, mengirim e-mail, berkomunikasi lewat chatting, atau
memanjakan diri dengan Facebook, Twitter, dan Friendster tanpa
perlawanan. Yang pasti, aneka jasa layanan tersebut dilakukan secara
simultan. Sekadar contoh, siswa sekolah, mahasiswa maupun dosen, sering
kali mengerjakan tugas di layar komputer dengan cara mengakses pelbagai
tema dari internet dan menyalinnya dalam hitungan detik tanpa sikap
kritis-analisis.
Tak dapat dimungkiri, kehadiran internet memang menjadikan berbagai aktivitas kian dimudahkan. Dulu, saat internet belum marak seperti sekarang, kaum pembelajar harus berhadapan dengan petugas perpustakaan yang kaku demi meminjam setumpuk buku tebal yang bakal jadi referensi tulisan atau tugas akademik. Itu pun lengkap dengan bonus tangan pegal-pegal karena capek mencatat ulang berlembar-lembar.
Namun sejak tahun 2008, setiap orang cukup duduk manis memelototi layar komputer yang terkoneksi internet. Dus, seluruh dunia bisa ditangkap dalam sekejap. Berbagai dokumen, artikel, kajian ilmiah, dan informasi lainnya bisa dijangkau cukup dengan menggeser tetikus yang siap di-klik kanan dan klik kiri. Sekilas teknologi mampu membebaskan penderitaan banyak orang, paling tidak dalam hal mencari referensi bahan tulisan.
Hanya saja, di balik kecanggihan internet itu ada hal yang membahayakan bagi penggunanya, yakni mendangkalkan otak. Bilamana saraf otak sudah diracuni internet, otak yang senyatanya berpikir kreatif menjadi tumpul. Asumsi inilah yang dituangkan Nicholas Carr dalam buku ini. Dia mengaku mulai kehilangan kemampuannya membaca dengan fokus sejak kebiasaannya berselancar ke berbagai laman, loncat dari satu tautan ke tautan lainnya.
Melalui buku The Shallows: Internet Mendangkalkan Otak ini Carr mencoba menguak bahaya internet bagi otak serta menohok kesadaran pembaca dari sihir internet. Kurangnya wawasan mengenai bahaya internet membuat sebagian orang terjerumus ke hal negatif serta menjadi korban yang mengenaskan. Akibat guncangan internet, menurut finalis Pulitzer Award 2011 ini, manusia kini cenderung mengarah kepada alam kedangkalan, budaya instan, dan autistik minimal (h. xi).
Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan. “I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish article on the web or in print . . . I can’t read War and Peace anymore. I’ve lost the ability to do that. Even a blog post of more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim it,” tutur Friedman yang dikutip oleh Carr. (h.3).
Tak sampai di situ, simak pula penelitian tentang online habits yang digelar University College London beberapa waktu lalu. Mereka meneliti tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis lainnya. Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk selanjutnya pindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal menyimpan artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka benar-benar membacanya.
Seberdosa apakah sihir internet? Sebagai media komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media komunikasi lainnya, harus diakui, internet memberi kontribusi besar dalam kehidupan modern. Sebagian orang berpendapat, layanan internet hanyalah alat, yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya, dan tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya. Mengutip pengusaha media David Sarnoff, Marshall McLuhan dalam buku Understanding Media (2003) menulis, “Kita begitu mudah mengambinghitamkan perangkat teknologi untuk dosa para penggunanya.” (h. xv).
Apa pun argumennya, tetap harus diakui bahwa dewasa ini masyarakat dunia sedang berada dalam pertigaan kritis. Dengan segala keterpesonaannya terhadap internet, ancamannya bukan saja terhadap daya jelajahnya yang dahsyat atas segala urusan, tetapi juga daya pengaruhnya yang berperan sentral dalam proses kreativitas otak. Akhirnya, pengguna akan kehilangan kemampuan berpikir seiring kecanduannya pada internet.
Karena itu, selain memberikan kemudahan dan kesenangan, internet juga mengorbankan cara berpikir penggunanya. Demikian ditegaskan Carr dalam buku ini. Judul The Shallows secara harfiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang lama dan yang bertele-tele sudah tak mendapat tempat lagi.
Dalam gegap gempitanya zaman informasi, Carr sesungguhnya ingin mengingatkan kita agar bersikap cerdas di tengah terjangan gelombang internet. Jangan biarkan internet menjajah dan mengendalikan berbagai sisi kehidupan kita. Kendati internet bisa menjaga kita agar selalu up-to-date, tapi ia juga bisa mencuri watak in-command kita.
Tak dapat dimungkiri, kehadiran internet memang menjadikan berbagai aktivitas kian dimudahkan. Dulu, saat internet belum marak seperti sekarang, kaum pembelajar harus berhadapan dengan petugas perpustakaan yang kaku demi meminjam setumpuk buku tebal yang bakal jadi referensi tulisan atau tugas akademik. Itu pun lengkap dengan bonus tangan pegal-pegal karena capek mencatat ulang berlembar-lembar.
Namun sejak tahun 2008, setiap orang cukup duduk manis memelototi layar komputer yang terkoneksi internet. Dus, seluruh dunia bisa ditangkap dalam sekejap. Berbagai dokumen, artikel, kajian ilmiah, dan informasi lainnya bisa dijangkau cukup dengan menggeser tetikus yang siap di-klik kanan dan klik kiri. Sekilas teknologi mampu membebaskan penderitaan banyak orang, paling tidak dalam hal mencari referensi bahan tulisan.
Hanya saja, di balik kecanggihan internet itu ada hal yang membahayakan bagi penggunanya, yakni mendangkalkan otak. Bilamana saraf otak sudah diracuni internet, otak yang senyatanya berpikir kreatif menjadi tumpul. Asumsi inilah yang dituangkan Nicholas Carr dalam buku ini. Dia mengaku mulai kehilangan kemampuannya membaca dengan fokus sejak kebiasaannya berselancar ke berbagai laman, loncat dari satu tautan ke tautan lainnya.
Melalui buku The Shallows: Internet Mendangkalkan Otak ini Carr mencoba menguak bahaya internet bagi otak serta menohok kesadaran pembaca dari sihir internet. Kurangnya wawasan mengenai bahaya internet membuat sebagian orang terjerumus ke hal negatif serta menjadi korban yang mengenaskan. Akibat guncangan internet, menurut finalis Pulitzer Award 2011 ini, manusia kini cenderung mengarah kepada alam kedangkalan, budaya instan, dan autistik minimal (h. xi).
Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan. “I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish article on the web or in print . . . I can’t read War and Peace anymore. I’ve lost the ability to do that. Even a blog post of more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim it,” tutur Friedman yang dikutip oleh Carr. (h.3).
Tak sampai di situ, simak pula penelitian tentang online habits yang digelar University College London beberapa waktu lalu. Mereka meneliti tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis lainnya. Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk selanjutnya pindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal menyimpan artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka benar-benar membacanya.
Seberdosa apakah sihir internet? Sebagai media komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media komunikasi lainnya, harus diakui, internet memberi kontribusi besar dalam kehidupan modern. Sebagian orang berpendapat, layanan internet hanyalah alat, yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya, dan tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya. Mengutip pengusaha media David Sarnoff, Marshall McLuhan dalam buku Understanding Media (2003) menulis, “Kita begitu mudah mengambinghitamkan perangkat teknologi untuk dosa para penggunanya.” (h. xv).
Apa pun argumennya, tetap harus diakui bahwa dewasa ini masyarakat dunia sedang berada dalam pertigaan kritis. Dengan segala keterpesonaannya terhadap internet, ancamannya bukan saja terhadap daya jelajahnya yang dahsyat atas segala urusan, tetapi juga daya pengaruhnya yang berperan sentral dalam proses kreativitas otak. Akhirnya, pengguna akan kehilangan kemampuan berpikir seiring kecanduannya pada internet.
Karena itu, selain memberikan kemudahan dan kesenangan, internet juga mengorbankan cara berpikir penggunanya. Demikian ditegaskan Carr dalam buku ini. Judul The Shallows secara harfiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang lama dan yang bertele-tele sudah tak mendapat tempat lagi.
Dalam gegap gempitanya zaman informasi, Carr sesungguhnya ingin mengingatkan kita agar bersikap cerdas di tengah terjangan gelombang internet. Jangan biarkan internet menjajah dan mengendalikan berbagai sisi kehidupan kita. Kendati internet bisa menjaga kita agar selalu up-to-date, tapi ia juga bisa mencuri watak in-command kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar