Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak
mengantarkan suatu peradaban bagi orang China dalam proses islamisasi di
Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan
bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang
Arablah yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah
melirik, orang China pernah andil dalam membangun peradaban Islam.
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah
mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15,
pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat
bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama
Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara.
Catatan sejarah dari China, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa
telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu
ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun
1518 dan 1521 M.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau
candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini
konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041,
yaitu tahun 1400 saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan
oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11
Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Peristiwa keruntuhan Majapahit
yang berpusat di Mojokerto diyakini terjadi tahun 1478, namun sering
diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
§ Raja terakhir
adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak. Brawijaya
mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, kemudian masuk agama Islam
melalui Sunan Kalijaga, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan
Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya.
Sehingga,
dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang
salah satunya mengatakan bahwa sekitar Teori ini muncul berdasarkan
penemuan Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong. 500 tahun kemudian, akan
tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan
menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.
Ada pula yang
mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Bali. Meskipun teori yang
bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan
tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
§
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul
berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan peperangan antara
keluarga Girindrawardhana Dyah melawan Majapahit.
§ Raja
terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang
Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara
tegas apakah Bhre Kertabhumi adalah raja terakhir Majapahit. Selain itu
kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana
pada tahun 1390 Saka (1468 M) adalah Pandansalas, ataukah anak-anak
Sang Sinagara. Teori yang menyebut Pandansalas sebagai raja terakhir
mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk
menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Pandansalas mati dibunuh
Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya.
§ Majapahit runtuh
tahun 1478, ketika Girindrawardhana memisahkan diri dari Majapahit dan
menamakan dirinya sebagai raja Wilwatikta Daha Janggala Kediri. Tahun
peristiwa tersebut di tulis dalam Candrasangkala yang berbunyi “Hilang
sirna kertaning bhumi”.
§ Pendapat lain menjelaskan Majapahit runtuh karena diserang oleh Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus tahun 1522.
Kenyataan
sejarah kadang-ka-dang terlalu pahit untuk ditelan dan terlalu pedas
dirasakan. Sejarah adalah kaca benggala yang memuat berbagai fakta yang
pernah terjadi pada masa silam. Segala hal yang telah tergores dalam
kaca sejarah tak lagi bisa terhapus. Orang yang tidak senang mungkin
akan berusaha untuk menyelubungi atau melupakannya, tetapi tidak akan
mampu melenyapkannya. Orang dapat membuat berbagai macam tafsir, tetapi
fakta sejarah yang ditafsirkan tak akan berubah.
Begitu pula sejarah
keruntuhan Majapahit, yang diiringi pertumbuhan negara-negara Islam di
Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang menarik diungkit
kembali. Sebagai kerajaan tertua di Jawa, Majapahit bukan cuma menjadi
romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, melainkan
juga bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengan
Islamisasi pada masa peralihan menjelang dan sesudah keruntuhannya.
Ada
beberapa pendapat yang menjelaskan bagaimana Kerajaan Majaphit yang
begitu besar akhirnya runtuh. Pendapat-pendapat tersebut kami uraikan
sebagai berikut :
1. Penyebaran Agama Islam
Sebelum
1450, agama Islam telah memperoleh tempat berpijak di istana Majapahit
di Jawa Timur. Van Leur memperkirakan hal ini ditolong oleh adanya
disintegrasi budaya Brahma di India. Surabaya (Ampel) menjadi pusat
belajar Islam dan dari sana para pengusaha Arab yang terkenal meluaskan
kekuasaan mereka. Jatuhnya kerajaan Jawa yaitu kerajaan Majapahit pada
tahun 1468 dikaitkan dengan intrik dalam keluarga raja karena fakta
bahwa putra raja, Raden Patah masuk Islam.
Tidak seperti
pemimpin-pemimpin Hindu, para misionaris Islam mendorong kekuatan
militer supaya memperkuat kesempatan-kesempatan mereka. Memang tidak ada
tentara asing yang menyerbu Jawa dan memaksa orang untuk percaya. Namun
dipergunakan kekerasan untuk membuat para penguasa menerima iman
Muhammad. Baik di Jawa Timur maupun Jawa Barat, pemberontakan dalam
keluarga-keluarga raja digerakkan oleh tekanan militer Islam. Ketika
para bangsawan berganti keyakinan, maka rakyat akan ikut. Meskipun
demikian, kita harus mengingat apa yang ditunjukkan Vlekke bahwa
perang-perang keagamaan jarang terjadi di sepanjang sejarah Jawa.
Kedatangan
Islam ke Jawa Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082
Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang
perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu
disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan
Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan
dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian
dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke
Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri
Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat
toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam
Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu
nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah).
Yang menarik,
walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang
mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa
di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur
kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para
pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar
beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad
XVI saat kerajaan Demak.
Wali Sanga (9)
Sunan Ampel
Mereka
yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan
agama Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali
Sanga (9), yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka
dibanding kepercayaan/agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin
yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu
dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh
ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam
hal pemerintahan dan politik.
Syeh Siti Jenar adalah wali serba
kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi,
ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat
ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya,
sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk
dimana ia wafat dan dimakamkan. Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang
yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum
mati).
2. Perang antara Majapahit dan Demak
Pada
umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah babad
dan serat hanya terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal
sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak,
yaitu Brawijaya melawan Raden Patah.
babad dan serat tidak
mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun
1478. Padahal menurut catatan Portugis dan Kronik Cina Kuil Sam Po Kong,
perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali.
Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing
di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud
bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun
menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat
istrinya adalah adik Jin Bun.
Sunan Bonang
Perang ini juga
terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin bupati Tuban
bernama Pate Vira, seorang muslim. Selain itu Majapahit juga menyerang
Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresk. Namun, serangan ini gagal di mana
panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin
putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521.
Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran
Sabrang Lor.
Menurut Kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan
oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang
antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi
tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Gudung, anggota Wali
Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan
Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak
Majapahit .
Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak
dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan
kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid demak.
Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati
Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus.
Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi
pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan
Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui
adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan
Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Raden Kusen
adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu. Raden Kusen pernah
belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di
atas, ia justru memihak Majapahit.
Berita ini membuktikan kalau
perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam
melawan Hindhu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan
perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana
melawan Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas Pulau Jawa.
Menurut
Kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan
Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit
. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke
Pulau Bali.
3. Serbuan Keling pimpinan Girindrawardhana
"Prasasti
Petak" dan "Trailokyapuri" menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah
Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan
Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu
Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak
mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis
tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri
dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.
Saat itu Tuban,
Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara
Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin
seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para
bupati itu untuk menggempur Majapahit. Penggubah Babad Tanah Jawi
tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun
1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan
Sultan Trenggano 1527.
Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan
karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang
dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga
menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan
bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !)
diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian
Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh,
Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang
penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja
terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi
raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan
dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan
Mr. Moh. Yamin dalam bukunya "Gajah Mada" juga menyebutkan bahwa
runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan
Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian
tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit
ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah. Gajah
Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan
buku "Dari Panggung Sejarah" terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber
dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan
akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa
Muslim, dalam bukunya "Ying Yai Sheng Lan" menyebutkan, ketika
mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat
Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka.
Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi
sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana
Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik
dengan angka tahun 12 Rabi'ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi,
berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja
Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi
Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.Salah satu
bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota,
adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM.
Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka
tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611
(abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh
tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa,
kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf
sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya
pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan,
melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat
Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang
pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun
1873. L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan
angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono
Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan
mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih
berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu
kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh
kedamaian dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi
dikecamatan trowulan yakni di Desa dan kecamatan Trowulan adalah Makam
Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh)
adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang
ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi)
dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan
memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama
Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur
Dawa).
Pintu Gerbang ini merupakan peninggalan kerajaan Mojopahit
yang di angkat oleh Kebonyabrang sebagai persyaratan untuk diakui
sebagai Putra Sunan Muria, namun setelah sampai di Desa Rondole,
Kebonyabrang tidak kuat melanjutkan perjalanan. Akhirnya Sunan Muria
memerintahkan bahwa perjalanan tidak usah diteruskan dan Kebonyabrang
disuruh menunggu pintu gerbang tersebut sampai meniggal dunia Lokasi
Desa Muktiharjo Kec Margorejo, sejauh 4 km dari kota Pati
Dusun
Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam
itu. Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang
betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru
beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran
terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat
ditanah Jawa. Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya,
berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478
masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban.
Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang.
Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan
dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum
Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus
Ja'far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam
menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam
tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu
yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat
Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya
masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun
dengan gaya arsitektur candi Hindu.
4. Keruntuhan Majapahit versi Serat Darmagatul
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit dan menikah
dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat
Brawijaya tertarik Islam.
Ketika sedang bersama, sang putri selalu
membeberkan keutamaan agama islam. Ketika dekat sang prabu, tiada kata
lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak
lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia
mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu
mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldenta- Surabaya. Sayid
Kramat adalah maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang
tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan
memeluk agama Islam. Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih
1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan.
Sedangkan Hawa adalah minat hati. Di wilayah Blambangan sampai ke arah
Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam. Banyak ulama
dari seberang datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin
tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya
berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam..
Prabu
Brawijaya mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Campa. Ketika Raden Patah dewasa, ia
menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein ). Sang Prabu bingung memberi
nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan
raja yang lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib. Sang
Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang
patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu
dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik
dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini
disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan
bahwa putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan
pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama
pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah
kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di
sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng
Ngampel.
Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah
telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk
menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung,
dengan nama baru Raden Arya Pecattanda. Ajaran Islam makin berkembang.
Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber
pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut
dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama
baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi
makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak
Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan
tidur.
Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Benang di
daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di
daerah tersebut. Kemudian Sunan Benang menuju ke desa Bogem, dan merusak
arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut
mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendesak agar Sunan Benang
pergi dari daerah itu. Patih Majapahit menghadap Prabu Brawijaya dan
memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan
Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam
dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di
Ngampelgading dan Demak.
Sunan Bonang
Sunan Benang dan Sunan
Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak. Pada waktu itu sunan
Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri,
yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang
meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur
sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Ternyata, kata
Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung
Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat
Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka.
" Kalau begitu, orang disini
semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu
tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara
Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan
Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya
keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air
simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari
air yang dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat
laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang
menenun. Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki.
Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.
Gadis
itu tidak mau memberikan air dan mengusir pemuda tersebut. Pemuda
tersebut langsung pergi dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sunan
Bonang. Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah
kata-kata keras. Sunan mengutuk tempat itu akan sulit air.
Gadis-gadisnya
tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum
jejakanya. Akibat kutukan Sunan Bonang aliran sungai Brantas menyusut
dan berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Sampai
kini daerah Gedhah sulit air, perempuan-perempuan nya menjadi perawan
tua, begitu juga kaum laki-lakinya.
Sunan Bonang melanjutkan
perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama
Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani dan sedang dikerumuni anak
cucunya. Mereka melapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka
mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian.
Anak cucu
Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya
dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu
lagi. Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan
berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para mahluk alus
tersebut tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas
seperti dibakar. Karena usahanya gagal Nyai Plecing kemudian pergi ke
Kediri menemui rajanya yang bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di
kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya,
bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja
Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara. Ia
diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri
artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila
disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat
dipercaya.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di
kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani
patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga
memaparkan kesedihan para mahluk halus dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan api
Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para
mahluk halus bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan
perang.Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat
ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre.
Sementara
mahluk halus yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan
diri.Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai
orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja mahluk halus sedang menghadang
perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para
mahluk halus yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa
Sunan Bonang.
Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan
Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan. Akhirnya
terjadi perdebatan sengit antara Buta Locaya dengan Sunan Bonang. Buta
Locaya mengancam akan mengadukan perbuatannya tersebut kepada Raja
Majalengka. Sunan Bonang tidak takut akan ancaman tersebut dan tidak
takut pada Raja Majalengka.
Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata
itu, ia pun marah. Buta Locaya kemudian memuntahkan kemarahannya dengan
mengumbar segala kejelekan dari Sunan Bonang. Akhir kata Buta Locaya
meminta kepada Sunan Bonang untuk mengembalikan keadaan desa Gedah dan
sungai Brantas seperti semula. Dengan ancaman jika hal tersebut tidak
dipenuhi maka semua orang Jawa yang beragama Islam akan diteluh sampai
mati. Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari
kesalahannya. Namun sebagai seorang sunan kata kata yang telah diucapkan
akan terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Sunan Bonang hanya bisa
membatasi saja, Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini
dapat kembali seperti semula.
Buta Locaya tidak bisa menerima hal
tersebut dan minta keadaan tersebut harus dikembalikan sekarang juga.
Akhirnya karena tidak adanya penyelesaian Sunan Bonang mohon diri untuk
berjalan kearah timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan
ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Mahluk halus dan manusia
saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah.
Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya
menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang
masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di
sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan
kuberi nama Kawanguran."
Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai.
Sampai saat ini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan
Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah
kemudian menemukan akal.Buta Locaya mengikuti kepergian Sunan Bonang,
yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun.
Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang
parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya. Ketika Buta Locaya melihat
Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah
kemarahannya. Buta Locaya marak karena arca tersebut adalah peninggalan
Raja Jayabaya dan arca tersebut sebagai lambang tekad wanita. Kelak di
zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui
tekat para wanita Jawa.
Sunan Bonang kemudian melanjutkan perjalanan
kearah utara Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan
berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran
di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh
bunga yang berjatuhan. Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan.
Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat
setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak
akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya
dipatahkan, dan dahinya dirusak.
Sikap Sunan Bonang yang usil dengan
merusak patung tersebut menimbulkan kemarahan Buta Locaya. Menurut Sunan
Bonang patung itu dirusak agar tidak disembah banyak orang dan tidak
diberi sesaji serta diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu
kafir, rusak lahir batin."
Buta Locaya menjawab bahwa Orang Jawa
sudah tahu bahwa itu patung dari batu dan tidak berwujud Tuhan . Patung
diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para mahluk halus tidak
menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Dengan
diberi sesajen dan bau-bau yang harum mahluk halus akan merasa nyaman
karena alam mahluk halus berbeda dengan alam manusia. Buta Locaya
kemudian meluapkan kemarahannya dengan mengungkapkan sisi buruk Sunan
Bonang dan mempersilahkan untuk angkat kaki dari daerah Kediri. Sunan
Bonang yang kalah berdebat dengan Buta Locaya akhirnya memutuskan untuk
pulang kembali keBonang
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat
laporan sang patih tentang adanya surat dari Tumenggung di Kertosono,
yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat
ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti
keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang telah
terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah
mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu Brawijaya
memutuskan bahwa semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa akan diusir.
Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
menyebarkan agama Islam. Sang Patih juga melaporkan bahwa ulama Giripura
telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan
mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang
melebihi sang Prabu.
Prabu Brawijaya kemudian menyiapkan pasukannya
untuk menyerang Giri. Pada penyerangan tersebut giri berhasil
dihancurkan sehingga Sunan Bonang dan Sunan giri memutuskan meminta
perlindungan dari Raden Patah Bupati Demak.
Sunan Giri
Sunan
Bonang kemudian menghasut Raden Patah untuk memerangi Majapahit melawan
ayahnya sendiri. Raden Patah pada awalnya bimbang akan hal tersebut.
Bagaimanapun Prabu Brawijaya sebagai ayahnya telah banyak memberikan
kebahagian dan memberikan kedudukan sebagai Bupati Demak serta kebebasan
menyebarkan agama Islam. Raden Patah juga ingat pesan kakeknya di
ampelgading untuk tidak berani melawan orang tua walaupun orang tuanya
tersebut kafir.Namun karena para nabi terus menyakinkan dengan
mengungkap sisi buruk Prabu Brawijaya kepada Raden Patah diantaranya
pemberian nama babah yang artinya tidak baik dan melawan ayahnya yang
kafir tersebut bukanlah suatu dosa maka luluhlah hati Raden Patah. Para
Nabi juga meyakinkan bahwa Raden Patahlah yang berhak menjadi Raja
menggantikan Prabu Brawijaya.
Para Nabi memberikan saran untuk
melaksanakan penyerbuan tersebut dengan cara yang halus. Raden Patah
diminta untuk menghadap ayahnya pada acara grebeg dengan mengajak
seluruh Bupati , para sunan dan pasukan Demak.
Raden Patah kemudian
mengumpulkan para Bupati dan Sunan di pesisir utara datang semua ke
Demak Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa
Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
Semua sunan dan bupati setuju hanya Syech Siti Jenar yang tidak setuju.
Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi
Surya Alam di Bintoro. Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap
dengan senjata perang..
Patihnya dari atas angin bernama Patih
Mangkurat. Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat
senjata perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan
bupati. Berjalan berarakan seperti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada
yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para
ulama. Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut karena telah lanjut usia.
Sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penyerbuannya terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina muslim bernama Setyasena. Giri
berhasil ditaklukkan dan. Senapati Setyasena menemui ajal. Pasukan Giri
melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke
Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan
Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan
tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk
mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena
Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah
memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang
akan dikirim ke Demak.
Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari
Bupati Pati menyerahkan surat, mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah
Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak Setelah membaca surat
tersebut Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi
surat itu. Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam
membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya
dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi
kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang raja
tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya
penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal
akan perbuatan jelek mereka itu. Pikiran sang raja sangat gelap.
Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu
babi hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan
Adipati Demak dan para ulama serta bupati tega melawan Majapahit.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya
sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan
begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para
ulama menyeberkan agama Islam.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri
yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari
Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus
dengan cara peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu
akan diberikan karena Raja telah lanjut usia. Patih menjawab, lebih
baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai
merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan
Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju
berperang.
Karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu
Brawijaya eloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia
yaitu Sabdopalon dan Nayagenggong. Sehingga ketika Raden Patah dan
rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat
Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah
Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru
diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.
Perlawanan
antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan DemakDengan pertempuran
sengit itu tentara Majapahit hancur, Kemudian orang-orang Majapahit yang
takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Tentara Demak
dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti "Keris
Makripat" pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan
"Badhong" anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut.
Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah
adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.
Setelah
Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja
Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati
Bintara itu kemudian bergelar "Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Sayidina Panatagama"
Sunan Giri
Raden Patah yang
didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya.
Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesali perbuatan yang dilakukan
oleh Raden Patah melawan ayahnya. Ia mempermasalahkan Raden Patah
beserta para wali yang tidak baik budi kepada Prabu Brawijaya. Setelah
mendengar nasehat dari neneknya tadi, maka Raden Patah sangat sedih dan
menyesal atas segala perbuatannya. Akhirnya Sunan Kalijaga diutus untuk
mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali
menjadi raja Majapahit.
Sekembalinya Raden Patah ke Demak, ia
disambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Benang,
akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa
perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang
kafir.
Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk
menyampaikan tugasnya. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak
merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa
berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya
sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah
terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak.
Karena
kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke
Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka
buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang.
Bahkan ia bermaksud
untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin. Tawaran masuk agama
Islam kepada penasehat Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan
Nayagenggong, berakhir dengan penolakan. Sabdapalon menilai bahwa Prabu
Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan
agama Budha. Menurut Sabdo Palon agama yang ada di Jawa lebih cocok bagi
orang Jawa dan orang Jawa tidak selayaknya merasuk agama yang bukan
berasal dari Jawa karena agama Jawa tidaklah lebih rendah dari agama
Islam. Prabu Brawijaya tidak kuasa melawan bantahan dari Sabdopalon yang
ternyata adalah jelmaan mahkluk halus penguasa tanah Jawa yang telah
berumur 2300 tahun.
Sunan Kalijaga
Prabu Brawijaya menyesal
bahwa telah terbujuk Sunan Kalijaga untuk berpindah agama, namun karena
semuanya telah terjadi, Sabdo Palon berpesan agar Prabu Brawijaya tetap
menjalankan apa yang telah menjadi pilihannya tersebut. Sabdo Palon juga
memberitahukan bahwa kelak penguasa tanah Jawa akan beralih kepada
orang yang menjadi asuhan Sabdo Palon. Sabdo Palon kemudian pergi
meninggalkan Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya sangat sedih
sepeninggal penasehatnya tersebut namun Sunan Kalijaga berusaha
menghibur hati Prabu Brawijaya dgn mengatakan bahwa ajaran agama Islam
itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau
wangi dan terjadilah demikian. Prabu Brawijaya memerintahkan agar
mengambil bumbung untuk membawa air wangi tersebut sebagai bekal dalam
perjalanan. Perjalanan Prabu Brawijaya diiringi oleh Sunan Kalijaga
telah sampai di Sumber waru dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam
bumbung tersebut masih berbau wangi. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke
Penarukan dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung masih
berbau wangi.
Sesampainya di Besuki bermalam pula disana, namun pada
pagi harinya air dalam bumbung tidak lagi berbau wangi tetapi berbau
banger, oleh karena itu Prabalingga juga dinamakan Bangerwarih.
Prabalingga juga sebagai pertanda bahwa Prabu Brawijaya masuk agama
Islam karena terpengaruh tangan orang lain. Setelah selama seminggu
dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga
akhirnya sampailah di Ngampeldenta. Sesampainya di Ngampeldenta Prabu
Brawijaya memerintahkan agar membuat surat yang ditujukan kepada Sultan
Demak supaya datang ke Ngampel Gading.
Prabu Brawijaya juga
memerintahkan untuk membuat surat untuk anaknya yaitu Adipati
Andayaningrat dan Adipati Ponorogo Bhatara Katong yang meminta kepada
mereka tidak menuntut bela atas jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Prabu
Brawijaya sangat sedih atas jatuhnya Kerajaan Majapahit sehingga
menderita sakit yang sangat parah. Menjelang kepergiannya Prabu
Brawijaya meminta kepada Sunan Kalijaga untuk menjaga keturunan Raja,
dan terhadap Raden Patah yang belum juga datang memenuhi panggilan
ayahnya Prabu Brawijaya hanya akan memberi ijin memerintah kepada Sultan
demak tersebut sampai dua keturunan saja. Hal tersebut terbukti bahwa
setalah Raden Parah memerintah maka pemerintahan tersebut hanya sampai
di dua keturunannya saja yaitu :
1. Adipari Unus/ Pangeran Sabrang Lor (1518)
2. Pangeran Trenggono (1548)
Setelah
wafatnya Pangeran Trenggono terjadi perebutan kekuasaan antara adiknya
dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto
(1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai
dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda
Lepen yang bernama Arya Panangsang.
Tahta Demak dikuasai Arya
Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul
kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai
pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati
japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya
menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama
Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus
menantu Trenggono. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali,
dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu
ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di
Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak
SIRNA HILANG KERTANING BUMI
Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa bangsa Jawa
dahulu kala memiliki tradisi kalender yang biasa disebut perhitungan
kalender candra sengkala. Perhitungan itu berupa kata symbol yang
bernilai angka tetap. Kalender inilah yang banyak berjasa menjelaskan
berbagai peristiwa sejarah nusantara.
Kali ini saya ingin
mengungkapkan sebuah perhitungan Candra Sengkala yang menjelaskan
kejatuhan kerajaan Majapahit, yaitu sengkala yang berbunyi, Sirna Hilang
Kertaning Bumi. Sirna bermakna nol atau kosong, Hilang berarti nol,
Kertaning berarti empat, Bumi bermakna satu. Maka dapat kita lihat ada
angka 0041. Untuk membacanya kita harus membacanya dengan terbalik:
1400.Bila kita ingin mengetahui artinya dalam tahun masehi, maka kita
harus menambahnya dengan angka 78. Sehingga kita mendapatkan angka 1478.
Tahun 1478 merupakan puncak dari kejatuhan imperium Majapahit.
Sengkala
berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan - an
kemudian menjadi sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun
yang dilambangkan dengan kalimat, gambar, atau ornamen tertentu. Bangsa
barat menyebutnya sebagai kronogram. Penyebutan angka tahun mengunakan
kalimat dimaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat
peristiwa yang telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan
punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa apa yang terjadi tahun
itu. suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur.
Karena tahun
Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi,
maka suka disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah,
maka suka disebut candrasengkala karena menggunakan garis edar Bulan
sebagai referensi (candra = Bulan). Para leluhur sudah menyusun aturan
sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala.
Karena sengkalan menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata-kata
tertentu punya “watak bilangan” atau “watak kata-kata” masing masing.
Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa).
· Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia.
· Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga.
· Angka 3 : api atau benda berapi.
· Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”.
· Angka 5 : angin, raksasa, panah.
· Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”.
· Angka 7 : pendeta, gunung, kuda).
· Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana.
· Angka 9 : dewa, benda yang berlubang.
· Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”.
Aturan
lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di
kalimat sengkalan menjadi angka urutan pertama, sedangkan kata pertama
di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir pada tahun sengkalan.
Mari
kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Bila dilihat watak
kata-kata dan watak bilangannya, maka “sirna” = hilang = angka 0, “ilang
= hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan membuat =
angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus
didampingi buku buku kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta,
Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” =
0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan
“Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan
“Sirna Ilang Kertaning Bumi” dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi
untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan Majapahit pada tahun
1400 Caka atau 1478 M.
Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi”
Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat
jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka,
“kertaning Bumi” terbuka untuk ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau
“dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak punya arti
sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja.
Apakah “Sirna Ilang
Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? kita
bisa menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana
itu adalah Pagunung Anyar alias erupsi gununglumpur. Kronik sejarah
macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi Sengkalan, dan
geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana
alam adalah faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning
Majapahit - Senja Kala di Majapahit.
Majapahit runtuh disebabkan
banyak faktor salah satunya adalah situasi politik di tanah Jawa pada
saat itu dan sirnanya semangat maritime di kalangan para pembesar (para
adipati) yang berada dibawah naungan Majapahit. Arus yang datang dari
luar selalu membawa perubahan sekaligus kepentingan yang termasuk di
dalamnya adalah kepentingan niaga. Secara makna kalimat, Sirna Hilang
Kertaning Bumi berarti sirna dan hilangnya kejayaan bumi. Ungkapan
kalender tradisional ini, selain menjelaskan 1400 saka, juga memiliki
keterangan sejarah. Ada keserasian antara makna waktu dengan histories
kejatuhan Majapahit. Disinilah bedanya tradisi kalender Candra Sengkala
dengan tradisi kalender lain. Memang setiap tradisi penanggalan berbeda
dan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Hanya Candra
Sengkala, saya lihat cukup menarik dan tidak patut kita lupakan begitu
saja. Meskipun jaman sekarang sudah tidak digunakan lagi, tetapi minimal
ada sebuah kesadaran dalam diri masyarakat nusantara bahwa Candra
Sengkala merupakan refleksi dari tingginya peradaban masyarakat Jawa
ratusan tahun silam. Tidak ada alasan untuk meremehkan masyarakat
tradisional. Para leluhur kita jugalah yang merintis tata cara hidup
yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, semisal gotong royong.
Terbukti
benar, sejak tahun Sirna Hilang Kertaning Bumi (1400 saka), kejayaan
bangsa kita mulai luntur. Bangsa asing mulai mendominasi dan menguasai
segala aspek. Sumberdaya alam kita dikuras dengan sedemikian rupa hingga
menjadikan bangsa nusantara menjadi terjajah. Saat ini pun bangsa kita
belum menjadi bangsa yang jaya sebagaimana kejayaan Majapahit. Kejayaan
benar-benar sirna di bumi nusantara. Untuk kembali merebut kejayaan yang
sirna itu, kita perlu kerja keras dan berusaha semaksimal mungkin
bangkit dari kemunduran ini. Kita berdayakan potensi yang ada,
memanfaatkan peluang pembangunan yang mengarah pada kemajuan dan
meningkatkan aspek penguat sumberdaya manusia. Saya memandang, Indonesia
baru bangkit berjaya jikalau muncul kembali trah Majapahit
Untuk
memastikan hal ini memang tidak gampang. Maka dari itu, semangatnya yang
kita ambil. Majapahit tidak hanya kuat dalam hal sarana prasarana.
Selain armada perangnya tangguh, Majapahit juga memiliki sarana dagang
dan system pemerintahan yang kuat menopang kelangsungan pembangunan.
Kalau di kemudian hari bangsa kita telah menjadi kuat, maka senantiasa
waspada terhadap terulangnya sirna hilang kertaning bumi. Sebaliknya,
kita mesti pertahankan gemah ripah loh jinawi; tata tentrem kerta
raharja
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari
perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar
Sri Rajasa Jayawardhana, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena
pemberontakan Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan
Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap
sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan)
dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap
Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.
Bahkan
salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah
ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang
saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri
dan berkembangnya Islam di daerah pesisirKerajaan Majapahit yang pernah
mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah
kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sesudah
mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah
terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun
1468.
Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan
nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin
meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang
menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan
Majapahit.
Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah
kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah
beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah,
pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhumi. Ia
menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang
pernah dikalahkan raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Demikianlah
maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan
penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja
Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur
yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan
ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain
yang menduduki Pulau Jawa.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah
kronogram atau
candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah
tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun
1400
Saka, atau 1478
Masehi.
Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun
demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut
adalah gugurnya
Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana.
Akan
tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak
kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap
setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga
Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung
dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai
saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan
Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.